
Penulis: Yusradi Usman al-Gayoni*
OPINI, SUARAGAYO.Com – Setelah berikhitiar sedemikian protokol ketatnya selama pandemi ini, akhirnya salah satu anggota keluarga di rumah, yaitu istri, dinyatakan positif Corona Virusdeseases (Covid)-19 pada tanggal 18 Juni 2021.
Sehari sebelumnya, tanggal 17 Juni 2021, dia menjalani Swab PCR di kantornya, Perpustakaan Nasional RI, Salemba. Seminggu sebelumnya, istri memang mengeluhkan sakit kepala, batuk kering, nggak enak badan, meriang, capek, dan diare. Tidak biasanya dia seperti ini. Pada saat itu, memang kondisinya agak drop, kurang istirahat, dan banyak pekerjaan dari kantornya. Imunnya pun turun.
Sebelum itu, akunya, dia sempat berpapasan di lift kantornya dengan temannya yang diduga positif Covid. Sejak saat itu, ceritanya, gejala seperti yang disebutkan mulai muncul. Pada tanggal 17 Juni 2021, saya agak keberatan dia ke kantor, mengingat kondisinya masih belum fit, setelah mengkonsumsi obat-obatan dan vitamin. Work from home (WFH) saja, saran saya. Mesti ke kantor, Ma (Ama: bahasa Gayo; bahasa Indonesia, Pak), sebutnya. Karena ada rapat urgent, dia mesti ikut.
Hikmahnya, hari itu, dia di-Swab PCR beserta teman-temannya yang beriwayat interaksi dengan temannya yang diduga positif tadi. Hasilnya, dia dinyatakan positif, sehari setelahnya. Banyak juga temannya yang dinyatakan positif, dengan gejala yang sama.
“Ma, ke kamar sebentar,” panggilnya. “Kenapa, Ne (Ine: bahasa Gayo; bahasa Indonnesia, Bu)?” tanya saya. “Ine positif,” jawabnya sambil menangis. Dia cukup down menerima kenyataan tersebut.
Mengingat, selama ini, kami cukup protokol ketat baik di rumah maupun saat ke luar rumah. Di rumah, kalau ada pesanan barang via toko online yang diantar driver Gojek, misalnya, langsung kami bersihkan. Sampai di rumah (dari luar), baju yang dikenakan, langsung direndam pakai detergen dan mandi. Setelah itu, baru beraktivitas: salat, membaca alquran (ngaji), makan, dan lain-lain. Saat naik mobil pun pas di luar seperti itu, telapak sepatu atau sandal disemprot, demikian baju dan celana. Tiba di rumah, mobil pun ikut disterilisasi. Hand sanitizer, disinfectant, tisu kering, dan tisu basah selalu tersedia. Demikian disinfectant semprot, buat udara. Selain itu, kalau ada yang flu, wajib memakai masker.
Selama pandemi ini, kami juga lebih banyak di rumah. Beraktivitas di luar rumah, kalau benar-benar penting dan mendesak. Paling, mengantar istri naik jemputan ke Pamulang Barat atau ke Stasiun Kereta Api Rawa Buntu, pas istri ngantor. Juga, belanja kebutuhan dapur ke pasar. Kegiatan Musara Gayo Jabodetabek pun, paguyuban orang/dari Gayo di Jabodetabek juga lebih sering dilaksanakan secara daring. Demikian kegiatan sosial-keagamaan, pendidikan, lingkungan, dan organisasi lainnya, lebih secara daring. Saya dan keluarga paling menghindari tempat-tempat dan kegiatan-kegiatan yang tidak protokol kesehatan, buat kebaikan diri, keluarga, dan keselamatan bersama. Seperti itulah standar kami.
Menjalani Isolasi Mandiri
Melihat istri seperti itu, saya langsung menguatkan semangatnya dan menyenangkan hatinya. “Nggak usah nangis, sedih. Ntar, tambah turun imumnya. Insyaallah nggak apa-apa, cepat negatif, dan sembuh, amin. Mesti sabar. Kita jalani saja. Tetap berbaik sangka, berpikir positif, dan bersyukur. Kita ambilnya hikmahnya. Kita diuji (Nya) karena kita sudah mampu,” kata saya menguatkan. Istri hanya mengangguk, sambil mengusap air mata. “Insyaallah, nggak apa-apa. Semangat. Kita mesti kuat,” kata saya lagi. Anak-anak—Faiz (10 tahun) dan Ilham (4.5 tahun) hanya terdiam, sambil bertanya, “Kenapa Ine, Ma?” “Hasil swab kemarin, Ine positif. Ayo kita siapkan kamar isolasi Ine,” kata saya.
Anak-anak pun meng-amini. Mereka langsung bergegas. Kemudian, membersihkan kamar depan buat ruang isolasi ine-nya, ruang tamu buat tempat kami bermain, belajar, dan tidur, dan juga membersihkan kamar belakang yang tadinya tempat tidur bareng. Sementara itu, saya memasak makanan buat sarapan pagi itu, mengepel dapur, mencuci piring, mencuci dan menjemur pakaian. Setelah semuanya beres, istri pun mulai isolasi.
Kami juga ikut isolasi di ruang tamu, pun tidak terpapar dan tidak ada gejala apa-apa. Semuanya memakai masker dan sandal. Alat mandi, makan, dan minum antara kami dan istri, dipisah. Istri selalu memakai sarung tangan saat keluar kamar isolasi. Saat ke kamar mandi, baik istri maupun kami, selalu membawa disinfectant semprot. Selesai dari kamar mandi, langsung distrelisasi karena kamar mandi di rumah cuma satu. Rumah kami juga tidak bertingkat. Jadi, semuanya di bawah.
Begitulah hari pertama kami isolasi mandiri. Pastinya, agak berat, ribet, dan harus ekstra hati-hati. Termasuk, dari pengeluaran, semakin bertambah. Apalagi, buat kebutuhan obat-obatan, vitamin, buah, sayur-sayuran, dan ikan. Di sisi lain, selama pandemi ini, pemasukan pun jauh berkurang. Bahkan, tidak menentu. Semua mengalami hal yang sama. Lebih-lebih, saya, bukan seorang ASN atau berkerja dengan swasta dan digaji. Sebaliknya, mengurus usaha sendiri dan pekerjaan part time lainnya.
Karenanya, kita mesti selalu protokol kesehatan (prokes) ketat. Selalu waspada. Tidak boleh abai, ego, dan sampai tidak prokes. Sebab, corona ini ada dan nyata. Jangan sampai karena keabaian dan keegoan kita, malah memapari, menyusahkan, memudaratkan, dan sampai menzalimi orang lain. Cukup yang sudah kena buat pelajaran untuk prokes ketat, buat kebaikan dan keselamatan kita semuanya.
*Sekretaris Umum Musara Gayo Jabodetabek Periode 2019-2022, yang memiliki seorang istri penyintas Covid-19