Psikolog asal Gayo Beberkan Dampak Positif dan Negatif Bila Identitas Orang Positif Covid-19 Diumumkan
Dampak Negatif Berpotensi Terjadi pada Keluarga Orang yang Terpapar Corona

Penulis: Iwan Bahagia
TAKENGON, SUARAGAYO.com – Hingga saat ini kasus positif Covid-19 di dua dari tiga kabupaten di Dataran Tinggi Gayo terus bertambah, yakni Takengon dan Bener Meriah.
Tuntutan untuk dibukanya identitas warga positif Covid-19 di dua daerah itu terus menguat. Apalagi mereka yang selalu punya ruang bebas berpendapat, netizen.
Apabila dipantau media sosial, berbagai dalih netizen memancing respon agar media atau pemerintah daerah bisa membeberkan mereka yang positif sering muncul ketika berita Covid-19 dipublikasi.
Bahkan saat Suaragayo.com beberapa kali memuat berita terkini soal positif corona ke jejaring sosial seperti facebook, para warganet acapkali bereaksi soal identitas positif Covid-19.
Tanggapan Wahyuni, M Psi, Psikolog
Menanggapi itu, psikolog klinis asal Gayo yang bekerja di RSUD Datu Beru Takengon, Wahyuni mengatakan, persoalan permintaan membuka atau menutup identitas positif corona merupakan kewenangan Satgas Covid-19 yang dibentuk disetiap daerah.
Namun jika petunjuk teknis dalam penanganan Covid-19 mengatur dengan ketat terkait boleh atau tidaknya identitas orang yang positif Covid-19 itu dipublikasikan.
“Pertama yang membuka dan menutup identitas itu adalah kewenangan pemerintah yang sudah diatur dari pusat hingga daerah, kita punya Satgas yang bekerja sesuai wewenang dan SOP yang telah dituangkan secara resmi,” kata Wahyuni, dibuhubungi Suaragayo.com, Jumat (31/7/2020).
Pemerintah tidak bisa membeberkan data pasien covid-19 bisa jadi karena pertimbangan dampak negatif, atau istilah lain, lebih banyak mudaratnya.
“Memang keputusan itu tidak dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak. Pemerintah pasti punya pertimbangan dari sudut pandang banyak manfaat,”
“Apalagi Satgas Covid-19 itu punya semua bidang yang ikut serta, ada unsur agama, spiritual, medis dan pemegang kebijakan dan lain sebagainya. Persepsi ini dulu yang harus kita samakan,” jelas Wahyuni yang juga alumnus sarjana Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Mengenai dampak psikologis terpublikasinya korban Covid-19 itu menurut Wahyuni, dapat dipandang dalam sudut pandang positif dan negatif.
Dalam sudut pandang positif, publik dapat lebih waspada dan bersiap terhadap orang yang sudah dipublikasikan.
Bahkan bisa membantu petugas kesehatan untuk mendapatkan data bahwa seseorang pernah kontak dengan warga yang terpapar Covid-19.
“Misalnya dia tahu dan ingat, bahwa dia pernah kontak dan memeriksakan diri apabila sudah mengetahui,” jelas Wahyuni.
Berikutnya, mengetahui identitas seseorang yang positif Covid-19 juga mampu menebarkan empati dan simpati dari orang lain.
Misalnya saja adanya empati orang lain kepada keluarga pasien, atau memfasilitasi berbagai jenis bantuan karena mengetahui keluarganya diisolasi.
“Mereka mungkin bisa membantu tentang finansial, atau kebutuhan hidup orang yang diisolasi,” sebut Wahyuni.
Dampak negatif secara psikis apabila data pasien positif Covid-19 diungkap ke publik, bisa membuat persepsi orang yang tidak teredukasi dengan baik tentang virus corona membuat stigma.
Sebab, alumni pasca sarjana Universitas Sumatera Utara (USU) ini menyebutkan, bagi orang-orang seperi itu, mengetahui identitas warga yang terinfeksi Covid-19 merupakan sebuah ancaman.
Dengan demikian, mereka berpotensi melakukan tindakan negatif terhadap orang yang dikenalnya positif Covid-19, seperti pengucilan, pengusiran, menjadi bahan pembicaraan, dan sebagainya.
“Kita saja, apabila kita terancam pasti kita melindungi diri. Jadi mereka yang tidak teredukasi bisa saja menganggap orang yang dia kenal sebagai ancaman yang berbahaya,” sebut Wahyuni.
“Dengan demikian baik orang yang positif maupun keluarga yang bersangkutan ya akan terganggu psikisnya. Bisa jadi sedih, putus asa, depresi,”
“Karena setiap kita yang mengalami masalah pasti butuh support kan? Baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar,”
Keluarga inti dengan keluarga yang lain serta tetangga juga hidup berdampingan, sehingga potensi psikologi juga bisa melebar.
Potensi munculnya bullying dan isu-isu yang memprovokasi warga yang lain, apalagi bagi masyarakat yang memiliki pemahaman terbatas tentang Covid-19.
“Bukan fokus pada problem solving, bagaimana supaya tidak tepapar, tetapi membahas saudara kita yang terdampak. Padahal saudara kita itu sebenarnya tidak mau terpapar virus corona,”
“Harusnya fokus pembicaraan adalah meminimalisir penyebaran Covid-19, cukup sampai disumber itu, jangan lagi meluas,” papar Wahyuni, sembari mengingatkan untuk disiplin dengan mematuhi protokol kesehatan, mengikuti phsycal distancing, hindari stres dan selalu medekatkan diri kepada Allah SWT.